Menjahit Warisan


​Tadinya, saya mau bikin tulisan tentang sumpah pemuda sebenarnya. Cuman, sayanya agak khawatir karena hati ini agak bimbang setelah menghadap cermin beberapa kali; Masih mudakah kau wahai muka? Apakah butuh 3 kali tamparan sendal swallow agar kau tersadar dari delusi…?? Ah, kampret betul, jenis keraguan yang tidak mutu sekali…

Ya sudah, lupakan masalah muka.

Masalah skripsi juga lupakan.. lupakan… tidur.. tidurlah.. au ah bo do.

Hari ini, celana jeans saya robek lagi. Akhirnya, bisa dihitung dengan lubang hidung saja jumlah celana jeans saya yang masih utuh tanpa sobekan..

Karena, dari dulu saya memang terkenal sebagai pembalap. Bukan karena sering kebut-kebutan, tapi karena hampir semua celana saya itu punya sobekan di bagian lututnya. Bahkan salah seorang dosen pernah menyindir, katanya : “Usahakan, kamu kalo mau nikah nanti cari cewek anak orang kaya atau anak penjahit..“. Fiuuuh.. untung dosen, kalo mobil wis tak tumpaki kowe bu…

Tapi, justru celana robek inilah yang membawa kembali ingatan saya tentang mama.

Dulu, waktu masih kuliah di Semarang, setiap akan mudik ke Bengkulu saya selalu saja membawa serta semua jeans robek saya itu. Tujuannya satu, agar bisa dijahitkan mama.

Mama saya itu, satu-satunya yang bisa membuat dia duduk manis tenang tanpa hiperaktif cuma mesin jahit. Lama-kelamaan akhirnya ini menjadi tradisi. Mudik, bawa celana robek, minta dijahitkan. Begitu terus setiap tahun. Saya tau mata mama sudah tidak setajam masa mudanya dulu, bahkan mungkin jarum jahitnya saja bakal goyah ketika tau yang dihadapinya adalah bahan sekeras celana jeans.

Namun di sisi lain, bagi saya ini adalah momen terbaik untuk menikmati quality time sebagai seorang anak yang sudah terlalu besar untuk minta dimanja oleh Ibunya. Dengan menemaninya duduk di samping mesin jahit sambil pura-pura main gitar selama berjam-jam, berjaga-jaga jika matanya mulai lelah untuk memasukkan benang ke lubang jarum yang begitu mungil. Bercerita, atau menumpahkan rindu atas waktu-waktu yang hilang karena jarak.

Saya pun maklum, jika hasil akhir jahitan akan berbentuk kasar dan cenderung lucu karena si mesin jahit dan si empunya sama tuanya. Toh saya tidak peduli dan akan amat senang memakai jeans hasil tambalan Ibu saya itu ke kampus ataupun ke Mall.

Dari jaman STM, saya sudah terbiasa memakai pakaian yang ditambal. Nasib sebagai si bungsu penerima warisan terakhir, telah membuat saya pasrah untuk memakai pakaian bekas kakak-kakak saya. Tidak heran jika pakaian tersebut lapuk karena telah melewati beberapa generasi.

Selama 3 tahun sekolah pun, saya konsisten dengan hanya menggunakan 2 pasang seragam, bahkan salah satunya adalah baju SMP yang cuma diganti lambang OSISnya.. Dengan alasan inilah, akhirnya seragam sekolah saya punya tempelan bordir di lima tempat. Lucunya, dengan alasan trendsetter, kawan-kawan sekelas malah ikut-ikutan nempel bajunya juga. Keren, katanya. Bodo amat..

Di seragam bagian ujung bawah saya kebetulan ada robek bekas berkelahi, jadilah saya tempel dengan bordiran bergambar kepala rubah berwarna merah, dengan tulisan The Fox. Karena gambarnya terlalu mencolok, sejak saat itu saya jadi dapat julukan ‘FOX’. Itulah nama yang selalu saya sandang ketika sedang naik gunung dan berkenalan dengan wanita-wanita semasa STM.

Baju praktek STM saya yang seperti jubah dokter itupun tak luput dari tempelan juga. Demi melihat tempat kosong yang begitu luas di belakang baju tersebut, jadilah baju tersebut sebagai tumpahan ekspresi anak-anak sekelas. Mulai dari gambar, cat, pilox, bordir, sampai ke lambang palu arit nongkrong disitu.

Tentu saja semua gambar ini langsung dijahit oleh mama saya. Beliau tidak akan menolak karena memang maklum pakaian saya tidak diciptakan untuk bertahan selamanya, ada saatnya rapuh dan sobek. Sedang untuk membeli baru adalah hal yang teramat berat karena kebutuhan primer lain banyak menunggu. Saya yang memang tidak terlalu peduli dengan baju baru, memanfaatkan momen ini untuk melepaskan kenakalan masa remaja dengan kreatifitas.

Begitulah, hingga hari ini telah banyak celana baru datang dan pergi menggantikan yang bekas-bekas itu semua termasuk celana yang baru saja robek ini. Kecuali satu, celana jeans dengan merk Lea berwarna biru, yang sobek di empat tempat. Dengan tambalan kain hitam di kedua lutut dan ditempel bordiran bergambar band Nirvana, Metallica, dan The Rasmus serta satu tulisan ‘Pertahanan sipil’ di bagian pantat.

Celana itu masih ada. Masih dan akan terus saya simpan. Itu celana terakhir yang pernah beliau tambal untuk saya, terutama senyumnya ketika menjahit tulisan pertahan sipil di bagian pantat itu.. Semoga mama di sana juga diberikan mesin jahit supaya bisa bikin komunitas penjahit Bengkulu bersama Ibu Fatmawati. Amin. Salam Sayang,..

*Selamat Ulang Tahun, mama. Maaf kecepetan, padahal masih bulan depan.. Takut lupa. Oh iya, cucumu tambah satu… ^^.

.

Tinggalkan komentar

Frans Cihuy

Calon orang kaya. Tetap manis walau badai menghadang,,

Blog Anak Baik

Calon orang kaya. Tetap manis walau badai menghadang,,

Nguping Jakarta

Calon orang kaya. Tetap manis walau badai menghadang,,

Pandji Pragiwaksono

Calon orang kaya. Tetap manis walau badai menghadang,,

Bajingan Yang Bergerak Bersama Waktu

Calon orang kaya. Tetap manis walau badai menghadang,,

Kumpulan Misteri Dunia

Kumpulan Artikel Misteri dan Rahasia yang Belum Terpecahkan

Blog misteri enigma

Calon orang kaya. Tetap manis walau badai menghadang,,